Sabtu, 09 Juli 2011

masih mungkinkah indonesia punya PLTN


      PLTN ( pembangkit listrik tenaga nuklir memang saat ini menjadi sebuah wacana yang menyeruak ke permukaan, setelah kebocoran yang terjadi pada reactor nuklir di fukushima daiichi jepang, yang mana kandungan radioaktif yang menyebar kemana mana dan bahkan sudah mencemari sebagian produk pangan asal jepang, serta penanganan dari otoritas jepang yang dirasa tidak memiliki opsi lain selain melakukan pendinginan dengan penyemprotan air laut pada reactor yang meledak tersebut.
Pertanyaan yang lantas muncul adalah, apakah masih aman dan perlukah pembangunan instalasi nuklir sebagai salah satu sumber energy di berbagai belahan dunia, termasuk di indonesa ?
 Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menilai bahwa negeri ini sudah memenuhi 13 syarat untuk membangun PLTN. Daerah yang paling memenuhi kriteria adalah Banten, Bangka Belitung, Kalimantan, dan Semenanjung Muria. Bahkan, pemerintah Rusia berkomitmen mendanai reaktor nuklir apabila pemerintah Indonesia berminat. Dan yang menjadi pemikat utama dari pengadaan PLTN di indonesia adalah biaya yang murah bagi Negara dunia ketiga seperti indonesia dan bebrapa perbedaan teknis antara indonesia dan jepang, seperti halnya indonesia memiliki pulau Kalimantan ( borneo ) yang secara geologis adalah batuan tua yang relatif sangat stabil pada pergeseran lempeng yang terjadi, hal ini menyebabkan potensi gempa di tanah indonesia atau di pulau borneo sekitar 7.0 dan maksimal hanya 8,5 skala SR sehingga tepat untuk batasan aman gempa bagi sebuah reactor nuklir.
Ahli Nuklir ITB, Prof. Dr. Zaki Su’ud menjelaskan bahwa PLTN penting jika sebuah negara mau menerapkan energi alternatif yang murah. Harga listrik yang dihasilkan dari PLTN hanya Rp200 per Kwh, jauh jika dibandingkan dengan harga listrik yang berasal dari pembangkit batu bara yang mencapai Rp670 per Kwh. Ia mencontohkan bagaimana China mensuport industrinya dengan membangun sekitar 140 reaktor, sehingga listrik di China bisa murah.
Jika Indonesia hendak membangun PLTN, ia menyarankan menggunakan standar keamanan tertinggi. Potensi rata-rata gempa bumi yang terjadi di Indonesia sekitar 7,0 Skala Rickher, karena itu pembangunan pembangkit nuklir mampu menahan gempa hingga 8,5 SR. Memang ada biaya yang harus dibayar lebih, namun tak seberapa bila dibandingkan dengan keamanan dan keselamatan manusia.
Sementara ada nada yang berbeda dari pakar fisika nuklir dari Tsukuba Jepang, Iwan Kurniawan menilai, rencana pembangunan PLTN di Indonesia harus segera dibatalkan. Indonesia dinilai belum siap untuk menangani masalah jika terjadi kebocoran nuklir.
“Kita nggak sanggup. Bencana di Aceh [tsunami] dan Yogyakarta [letusan Gunung Merapi] saja tidak sanggup ditangani. Itu debunya, wedhus gembel, kelihatan. Kalau nuklir tidak terlihat,” ujar Iwan dalam diskusi bertajuk ‘Gerakan Anti PLTN di Indonesia’ di Jakarta, Rabu 16 Maret 2011.
Dari sisi teknologi, Iwan menegaskan, Jepang sangat jauh berada di atas Indonesia. Namun, saat menghadapi masalah kehancuran PLTN-nya saat ini, Jepang kewalahan. Apalagi Indonesia, yang menurut Iwan, tidak menguasai teknologi, khususnya nuklir. “Pengalaman kita adalah membeli. Jangan harap bisa menguasai teknologinya jika terus membeli. Indonesia tidak pernah mengembangkan teknologi apapun, tidak melakukan riset, maunya beli,” tuturnya.
Jika didasari untuk pembangkit tenaga listrik, Iwan menyatakan, pemerintah harus lebih kreatif lagi untuk mencari sumber daya lain pengganti minyak. Menurutnya, bio diesel dan bio fuel sangat tepat dijadikan sumber energi listrik, ketimbang bertaruh nyawa untuk nuklir. “Bio diesel suatu hari nanti kita akan seperti Arab Saudi. Bio disel yang dari kelapa sawit. Nanti pada saatnya kelapa sawit akan jadi primadona. Seluruh dunia akan bergantung pada kita,” tuturnya. Lalu bagaimana dan apa yang harus dilakukan ? apakah melanjutkan proyek nuklir yang masih mungkin dengan keuangan indonesia saat ini ? ataukah mencari jalan lain ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar