Minggu, 10 Juli 2011

kejahatan terhadap harta benda

BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian Umum
Kejahatan terhadap harta benda bisa digolongkan atau dilihat pada buku kedua pada kitab Undang- undang hukum pidana ( KUHP ), tentang kejahatan, dimana dalam kejahatan terhadap harta benda ini dikatakan sebagai suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas benda milik orang lain dengan melawan hukum tentunya, buku II pada KUHP tidaklah memiliki pasal yang mencantumkan kejahatan seperti ini dengan nama kejahatan terhadap harta benda, namun ada dalam beberapa jenis kejahatan yang keseluruhannya adalah perbuatan yang sama, yakni mengambil, menggelapkan, merusak dan segalanya yang berhubungan dengan mengganggu hubungan hukum antara satu harta benda dengan pemiliknya, adapun segala delik pasal yang mengatur kejahatan jenis ini memiliki unsur unsur subjektif dan objektifnya masing masing.
2.2 Jenis – jenis Kejahatan Terhadap Harta Benda
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa kejahatan terhadap harta benda adalah tindak kejahatan yang menyerang kepentingan dan hubungan hukum antara satu harta benda dengan pemiliknya dengan melawan hukum, telah disinggung pula bahwa kejahatan ini dalam KUHP dapat dilihat dalam beberapa pasal yakni diantaranya pasal tindak pidana tentang :
a. pencurian (diefstal): mengambil barang orang lain untuk memilikinya, yang mana terdapat dalam bab XXII KUHP
b. pemerasan (afpersing); memaksa orang lain dengan kekerasan untuk memberikan sesuatu, yang bersama sama dengan pengancaman ada pada bab XXIII
c. pengancaman (afdreiging): memaksa orang lain dengan ancaman untuk memberikan sesuatu.
d. penggelapan barang (verduistering): memiliki barang bukan haknya yang sudah ada di tangannya, ada pada bab XXIV
e. merugikan orang yang berpiutang: sebagai orang yang berpiutang berbuat sesuatu terhadap kekayaan sendiri dengan merugikan si berpiutang (creditor) ada pada bab XXVI
f. penghancuran atau perusakan barang: melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu, yang dapat dilihat pada bab XXVII
g. penadahan: menerima atau memperlakukan barang yang diperoleh orang lain secara tindak pidana, yang ada pada bab XXX




BAB III
PENCURIAN, serta PEMERASAN dan PENGANCAMAN
3.1 Pencurian
Pertama, Tindak pidana penncurian dalam bentuk pokok, dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, yang berbunyi:
”barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah” Pencurian dalam bentuk pokok ini mengadung unsur objektif dan subjektif.
a. Unsur Objektif
1. Barang siapa
yaitu subjek atau pelaku dari tindak pidana. biasa diartikan barang siapa dalam artian manusia, karena pidana penjara yang diancamkan terhadap pelaku pencurian merupakan suatu ’vrijheidsstraf’, yakni suatu pidana yang bertujuan untuk membatasi kebebasan pelaku, dan pidana denda merupakan suatu ’vermogenstraf’, yakni pidana yang bertujuan untuk mengurangi harta kekayaan pelaku. ’vrijheidsstraf’ dan ’vermogenstraf’ hanya bisa ditimpakan kepada manusia. Karena yang dapat dikurangi harta kekayaan sebagai suatu pidana ini bukan hanya manusia saja, maka ada yang mengartikan barang siapa atau Hij ini manusia atau suatu badan hukum. Lamintang menyalahkan pendapat bahwa suatu badan hukum bisa dijadikan pelaku pencurian dengan alasan karena dalam penjelasan tentang pembentukan pasal 59 KUHP mengatakan: ”suatu tindakan pidana itu hanya dapat dilakukan oleh seorang manusia. Anggapan seolah-olah suatu badan hukum itu dapat bertindak seperti seorang manusia, tidak berlaku di bidang hukum pidana.”
2. Mengambil
artinya membawa barang dari tempat asalnya ke tempat lain. Jadi barang tersebut harus bersifat dapat digerakan, dapat diangkat dan dipindahkan. Adapun istilah ’mencuri tanah’ itu maksudnya memiliki tanah tanpa hak. Kemudian apabila seorang pencopet memasukan tangannya kedalam tas orang lain dan memegang dompet uang yang tersimpang di tas itu dengan maksud memilikinya, akan tetapi si copet belum berhasil telah ketahuan oleh yang punya dan dipukul sehingga ia harus melepaskan pegangannya, maka belumlah dapat dikatakan bahwa si tukang copet ”mengambil” dompet itu, sebab dompet masih berada di dalam tas yang punya. Si tukang copet di tuntut melakukan percobaan pencurian bukan pencurian.
3. Suatu Benda
artinya ada benda yang diambil pelaku. Adapun yang dimaksud dengan benda ini harus sesuatu yang berharga atau bernilai bagi korban . Barang yang diambil itu tidak terbatas mutlak milik orang lain tetapi juga sebagian dimiliki oleh si pencuri, yaitu apabila merupakan suatu harta warisan yang belum dibagi, dan si pencuri termasuk dalam ahli waris yang turut berhak atas barang itu.
4. Sebagian atau Seluruhnya Milik Orang Lain
artinya barang tersebut bukan milik pelaku tetapi merupakan milik orang lain secara utuh atau sebagian, jika barang itu milik si pencuri atau barang temuan maka tidak termasuk pencurian.
b. Unsur Subjektif
Menguasai benda tersebut dengan melawan hukum. Mentri kehakiman menyatakan bahwa yang dimsaksud dengan ’oogmerk’ atau maksud dalam pasal 362 ialah naaste doel ataupun dalam dokrin disebut bijkomend oogmerk atau maksud lebih lanjut. ’Maksud menguasai barang’ berarti untuk memiliki bagi diri sendiri atau dijadikan sebagai barang miliknya. Menurut Wirjono, ada suatu kontradiksi antara ’memiliki barang’ dan ’melawan hukum’. ’Memiliki barang’ itu berarti menjadikan dirinya pemilik, sedangkan untuk menjadi pemilik suatu barang harus menurut hukum. Maka sebenarnya tidak mungkin orang memiliki barang milik orang lain dengan melanggar hukum karena kalau melanggar hukum, tidak mungkin orang menjadi pemilik barang. Oleh karaena itu, Wirjono mendefinisikan memiliki barang dengan melawan hukum tersebut adalah berbuat sesuatu dengan suatu barang seolah-olah pemilik barang itu, dan dan dengan perbuatan itu si pelaku melanggar hukum.
Namun kemudian unsur objektif ini berkembang pada pemikiran seperti apa bentuk memiliki, karena tidaklah selalu seseorang mencuri untuk dimiliki dalam artian menggunakan barang curian tersebut sendiri, dalam hal ini Mr. R Tresna mengemukakan pendapatnya mengenai hal terkait :
a) bahwa yang mengambil itu bermaksud untuk memiliki barang itu, artinya terhadap barang itu ia bertindak seperti yang punya.
b) bahwa memiliki barang itu harus tanpa hak, artinya dengan memperkosa hak orang lain atau berlawanan dengan hak orang lain.
c) yang mengambil itu harus mengetahui, bahwa pengambilan barang itu tanpa hak
adapun juga dalam pencurian dikenal pula beberapa jenis pencurian selain pencurian dalam artian dasarnya, yakni pencurian dengan kualifikasi pemberatan, dimana pencurian jenis ini diatur pada pasal 363 KUHP, Pencurian ringan pada pasal 364 KUHP dan pencurian dengan kekerasan pada pasal 365 KUHP.
3.2 Pemerasan dan Pengancaman.
Jenis kejahatan ini masih memiliki korelasi dengan tindak kejahatan pencurian khususnya pada pasal 365 yakni pencurian dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan, pemerasan dan pengancaman diatur dalam pasal 368 hingga 371, namun pengertian dan unsur dari kejahatan ini dapat dilihat pada pasal 368 dan 369.
a. Unsur Objektif.
Dari dua pasal yang ada yakni pasal 368 dan 369, didapat unsur objektif berupa :
1. Barang siapa : dalam artian sama dengan pada delik pasal pencurian, yakni setiap orang siapapun yang melakukan perbuatan sebagaimana pada delik pasal ini dapat dijerat dengan ketentuan pasal tentang pemerasan dan pengancaman ini.
2. Memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan : unsur delik ini dapat ditemukan pada pasal 368 yang mana memiliki arti bahwa yang menjadi sarana bagi pelaku dalam memenuhi keinginnannya dalam melakukan tindak pidana adalah ancaman kekerasan fisik, berbeda pada pasal 369 yang mana ancaman yang ditonjolkan bukan ancaman kekerasan fisik namun ancaman perusakan nama baik dengan pengancaman membuka rahasia.
3. Dengan tujuan agar orang menyerahkan barang yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang tersebut atau orang lain : maknannya adalah ada perbedaan antara jenis kejahatan ini dengan pencurian yang mana ppencurian pada rumusan deliknya menekankan pelaku mengambil barang tersebut tanpa diserahkan oleh si pemilik, namun pada kejahatan ini pemilik yang dipaksa dengan segala ancaman yang ada menyerahkan sendiri barangnya pada pelaku.
b. Unsur Subjektif
Pada rumusan pasal tersebut yang menjadi unsur subjektif adalah pada kata dengan maksud menguntungkan diri sendiri, dalam artain pada pelaksanaan kejahatannya pelaku telah memilik kesadaran pribadi secara emosionalnya untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan melakukan kejahatan tersebut.





BAB IV
PENGGELAPAN dan PERBUATAN YANG MERUGIKAN ORANG YANG BERPIUTANG
4.1 Penggelapan
Dalam KUHP, Penggelapan dimuat dalam buku II bab XXIV yang oleh Van Haeringen penggelapan diartikan dengan Istilah “geheel donkermaken” atau sebagai “uitstraling van lichtbeletten” yang artinya “membuat segalanya menjadi gelap” atau “ menghalangi memancarnya sinar” Sedangkan Lamintang dan Djisman Samosir mengatakan akan lebih tepat jika istilah Penggelapan diartikan sebagai “penyalah gunaan hak” atau “penyalah gunaan kekuasaan”. Akan tetapi para sarjana ahli hukum lebih banyak menggunakan kata “Penggelapan“. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian yang dijelaskan dalam pasal 362. Hanya saja pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pelaku dan masih harus diambilnya, sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan.
a. Unsur subjektif
1. Unsur kesengajaan; memuat pengertian mengetahui dan menghendaki. Berbeda dengan tindak pidana pencurian yang tidak mencantumkan unsur kesengajaan atau ‘opzettelijk’ sebagai salah satu unsur tindak pidana pencurian. Rumusan pasal 372 KUHP mencantumkan unsur kesengajaan pada tindak pidana Penggelapan, sehingga dengan mudah orang mengatakan bahwa penggelapan merupakan opzettelijk delict atau delik sengaja.
b. Unsur objektif
1. Barang siapa; seperti yang telah dipaparkan dalam tindak pidana pencurian, kata ‘barang siapa’ ini menunjukan orang. Apabila seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau ‘dader’
2. Menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki); mentri kehakiman pemerintahan kerajaan Belanda, menjelaskan maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda seolah-olah ia merupakan pemiliknya, bertentangan dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya.
3. Suatu benda; ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan ataupun dalam prakteknya sering disebut ‘benda bergerak’
4. Seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain; sebagaimana keterangan Simons, “penggelapan atas benda yang sebagian merupakan kepunyaan orang lain itu dapat saja terjadi. Barang siapa atas biaya bersama telah melakukan suatu usaha bersama dengan orang lain, ia tidak boleh menguasai uang milik bersama itu untuk keperluan sendiri”.
5. Benda Yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan; yaitu harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan. Misalnya, karena dititipkan, dipinjamkan, disewakan, atau digadaikan kepada pelaku
Misalnya : si A menyewa sepeda kepada si B, kemudian si A menjual sepeda tersebut tanpa sepengetahuan si B. (dengan demikian si A dianggap telah melakukan penggelapan karena dia tidak memiliki hak untuk menjual sepeda tersebut)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar