Senin, 29 Oktober 2012

hak atas tanah di indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sudah sangat lama indonesia merdeka dengan agenda land reform yang panjang dan agenda memerdekakan tanah indonesia benar benar bersih dari kekuasaan bangsa bangsa asing sesuai dengan nafas proklamasi pada 17 agustus 1945, namun benarkah tanah indonesia telah benar benar dimerdekakan dari kepemilikan oleh bangsa bangsa asing ?
Pertanyaan ini tentu sangat menyentuh karena belakangan ini banyak sekali dijumpai kasus yang menggelitik tentang kepemilikan tanah di indonesia yang memang secara de yure adalah masih merupakan milik orang indonesia, namun dalam praktek sehari harinya secara de facto tanah ini dikuasai oleh orang asing, yang berkedok membeli tanah atas nama orang indonesia namun kemudian memainkan perjanjian hingga ia bisa menguasai tanah tersebut yang sebelumnya dibeli atas nama orang indonesia suruhannya.
Sebuah fakta yang menggelitik mengingat pada masa ini telah ada Undang Undang pokok agraria yang menjadi landasan hukum dari perbuatan hukum yang menyangkut pertanahan di indonesia, namun praktek sebagaimana yang disebutkan diatas ternyata bukan perkara baru bahkan sudah sering terjadi di masa sebelum UUPA lahir, bagaimana seluk beluk modus tadi, dan tentunya lebih penting bagaimana sebenarnya pengaturan porsi dari hak dari orang asing yang berkedudukan di indonesia atas tanah yang ada di indonesia dari masa ke masa baik saat belum adanya UUPA maupun setelah adanya UUPA menjadi sebuah hal yang menarik bagi penulis untuk diangkat pada makalah kali ini, yang dirasa penulis bisa dijadikan bahan acuan untuk perbaikan hukum di masa yang akan datang di bidang terkait.

1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
1. untuk melihat seperti apa pengaturan mengenai hak atas tanah indonesia oleh orang asiing dari masa ke masa baik sebelum lahirnya UUPA maupun setelah lahirnya UUPA.
2. mempelajari lebih dalam mengenai aturan pertanahan yang menyangkut tanah indonesia dan eksistensi orang asing yang berkedudukan di indonesia atas tanah tersebut.
1.2.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
a. mempelajari lebih dalam tentang hukum pertanahan di indonesia dalam kaitannya dengan hak dari orang asing
b. mempelajari jalan jalan atau hal yang disebut pengasingan tanah di indonesia dari masa sebelum UUPA ada.
c. Mempelajari untuk dapat memberi gambaran umum mengenai hak hak dari orang asing atas tanah di indonesia dengan segala batasan batasan yanga ada.
2. Tujuan Khusus
Untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah hukum agraria di fakultas hukum universitas.............
1.3 Rumusan Masalah
1. Seperti apa ketentuan hak milik atas tanah di indonesia ?
2. Dapatkah orang asing memiliki tanah di indonesia ? bagaimana pengaturannya ? baik sebelum adanya UUPA maupun setelah adanya UUPA ?

1.4 Metoda penulisan
Dalam makalah kali ini penulis menggunakan metoda normatif yang mendasarkan bahan bahan makalah ini pada, bahan hukum primer berupa beberapa peraturan perundanga undangan, baik yang berupa undang – undang, maupun peraturan pemerintah, serta dari bahan hukum sekunder dari beberapa literatur terkait dan bahan hukum sekunder berupa transkrip dan kutipan kutipan beberapa ceramah dan seminar ilmiah serta jurisprudensi di bidang terkait.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hak Milik Menurut Ketentuan UUPA
Milik adalah hak turun-temurun , terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 , bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”.
Sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”, maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh.
Perlu diketahui juga hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, di mana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain mealui perjanjian dimana satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.
Hak atas tanah yang diperoleh dari negara terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Tiap-tiap hak mempunyai karakteristik tersendiri dan semua harus didaftarkan menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 20 UUPA hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak milik juga membawa serentetan aturan lainnya seperti bagaimana timbulnya hak tersebut ?, pembebanan dari hak milik tadi, tentang pembuktiannya, termasuk bagaimana hak tadi bisa hapus ataupun hilang,
2.1.1 Timbulnya Hak Milik
Secara singkat Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu bisa terjadi karena Penetapan Pemerintah atau ketentuan Undang-Undang.
2.1.2 Pembebanan Hak
Pembebenan hak maksudnya adalah hak milik ini bisa dijadikan sebuah pembebanan terhadap satu hutang yang dibebani dengang hak tanggungan, bisa juga dibebankan atas suat perjanjian baik fidusia maupun perjanjian lainnya.
2.1.3 Pembuktian dan bukti pemegang hak
a. Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat
2.1.4 Hapusnya Hak Milik
Salah satu kekhususan dari Hak Milik ini tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya yaitu selama hak milik ini masih diakui dalam rangka berlakunya UUPA, kecuali akan ketentuan Pasal 27 UUPA. Pasal 27 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik itu hapus apabila :
a. Tanahnya jatuh kepada negara :
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3. Karena diterlantarkan
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)
b. Tanahnya musnah.
2.3 Ketentuan Pemegang Hak milik Atas Tanah di Indonesia
Sesungguhnya UUPA sudah mengatur dengan cukup jelas mengenai siapa saja yang bisa memiliki atau memegang hak milik atas tanah di indonesia, seperti yang dapat dilihat pada pasal 21 yang mengatakan bahwa :
1. hanya orang indonesia yang bisa memiliki hak milik atas tanah di indonesia
2. dan badan bandan hukum yang telah mendapat penetapan dari pemerintah lengkap dengan berbagai sarat saratnya.
Pasal ini juga seklaigus telah mengcover pasal sebelumnya yakni pasal 20 yang mengatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun yang mana di dalamnya mengandung arti bahwa hak milik bisa diwariskan menggunakan terstamen maupun tidak, serta hak milik juga bisa dipindahkatangankan yang mana artinya hak milik bisa diperjualbelikan, dihibahkan, atau dijadikan jaminan atas hutang maupun perjanjian dan perikatan tertentu, dimana pasal 21 ini memberi batasan bahwa meski hak milik bisa diwariskan atau dujual dan juga dipindahtangankan dengan cara seperti apapun, hanya orang indonesialah yang berhak dan bisa mendapat, menjual dan menggunakan hak milik atas tanah indonesia tersebut.
Dengan kata lain hak milik atas tanah di indonesia adalah hanya berkaku bisa dimiliki dan dimanfaatkan oleh orang indonesia dengan dan pada orang indonesia saja.
2.4 Sistem “ Ali Baba “ dan kepemilikan tanah oleh WNA sebelum UUPA
2.41 sistem “ ali baba “
Sekilas jika medengar namanya mungkin terasa sangat janggal, namun percaya atau tidak sistem penyelundupan ( pengasingan ) tanah ini benar ada sudah terjadi bahkan sejak belum lahirnya UUPA bahkan prakteknya masih terjadi di masa sekarang ini pasca lahirnya dan berlakunya UUPA.
Sebelum lebih jauh berbicara mengenai sistem pengasingan tanah ini, perlu diketahui bahwa sesunggunhya pada saat sebelum adanya UUPA dikenal dua jenis pengasingan tanah, yakni pengasingan tanah secara langsung dan pengasingan tanah secara tidak langsung, hal hal yang bisa dikatakan sebagai pengasingan ( pemindahan tanah indonesia ke orang asing ) dengan jalan pengasingan langsung adalah pemindahan hak atas tanah indonesia pada orang yang bukan orang indonesia dengan jalan jalan seperti : seperti jual beli, hibah, atau pewarisan dengan jalan legaat ( penunjukan sesuatu tanah milik tertentu bagi seorang yang mewarisinya ) atau dengan membuat serat wasiat ( testamen ) jadi dengan kata lain pengasingan tanah secara langsung sama saja dengan pemindahan hak atas tanah di indoenesia seperti jalan jalan biasa, hanya saja pemindahan ini dilakukan oleh orang indonesia atas tanah indonesia pada orang yang bukan orang indonesia.
Sementara pengasingan yang disebut sebagai pengasingan tanah secara tidak langsung, adalah pengasingan yang akan kita bahas kali ini, pengasingan dengan cara ini juga sering kali diesebu

Percobaan dalam tindak pidana

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perumusan delik di dalam hukum pidana banyak hal yang bersifat unik dan perlu pengkajian khusus, biasanya delik delik semacam ini ditempatkan sebagai delik sekunder atau bukanlah delik primer yang dikategorikan dalam pelanggaran maupun kejahatan, namun berhubungan erat dengan kedua hal tadi, baik pelanggaran maupun kejahatan, diantaranya adalah percobaan ( pogging ) yang diatur dalam pasal 53 KUHP, dimana pasal ini mengatakan :

1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, diajukan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Percobaan dalam tindak pidana ini tergolong unik karena dalam perumusan delik percobaan ini sering kali menemukan kesulitan dalam penentuan batasan dari percobaan itu sendiri, dan kesulitan lain yang acap kali ditemukan adalah, penentuan batasa antara tindakan persiapan dan tindakan pelaksanaan, apakah orang yang baru melakukan tindakan persiapan dapat dijerat dengan delik percobaan ataukah hanya bisa dijerat jika telah terjadi perbuatan pelaksanaan dari tindak pidana tersebut, masalah lain yang muncul adalah, dimana batasan dari tindakan persiapan dan tindakan pelaksanaan. Hal tersebut yang melatar belakangi penulis dalam penuliasan paper kali ini.

1.2 Maksud Dan Tujuan

1.2.1 Maksud

1. Untuk mengetahui seperti apa itu delik percobaan dalam tindak pidana
2. Untuk mengetahui apa saja unsur yang bisa menyebabkan seseorang dijerat dengan tindak percobaan sesuai dengan yang diatur dalam pasal 53 KUHP

1.2.2. Tujuan

1. untuk menilik lebih dalam unsur yang ada dalam tindak percobaan dalam hukum pidana.
2. Untuk mengetahui seperti apa penggunaan delik percobaan tersebut dalam kasus yang telah ada di masyarakat.

1.3 Rumusan masalah

1. Seperti apa tindak pidana percobaan tersebut, dan apa saja unsur yang menjadi patokan bahwa tindakan tersebut adalah tindak pidana percobaan ?
2. Seperti apa pengenaan delik percobaan tersebut jika dilihat dari jurisprudensi yang ada saat ini ?

1.4 Metoda Penulisan

Dalam paper kali ini penulis menggunakan metode normatif
Normatif primer yang menggunakan sumber dari hukum positif yang berlaku di indonesia dan utamanya dari KUHP
Serta normatif sekunder yang menggunakan sumber dari sebuah putusan pengadilan mengenai tindak pidana percobaan.

























BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Apa Itu Pogging

Pada umumnya suatu tindak pidana diselesaikan secara tuntas oleh si subjek, tidak timbul permasalahan dan dinyatakan sebagai tindak pidana/kejahatan. Namun sering terjadi dimana subjek tidak dapat tuntas menyesaikan tindak pidana yang diinginkan, masalah ini menyangkut ajaran percobaan (poging/attemp). Ini diatur dalam pasal 53 KUHP dengan unsur-unsurnya;

1. Ada niat,
2. Harus ada permulaan pelaksanaan,
3. Pelaksanaan tidak tuntas dikarenakan hal-hal diluar kemampuan si subjek.

Ketiga unsur tersebut merupakan syarat untuk dipidananya pelaku percobaan.Mengenai unsur pertama yaitu niat, Moeljatno mengatakan niat dalam pasal 53 KUHP belum dapat dikatakan kesengajaan sebelum niat itu ditindaklanjuti. Yang dimaksud dengan hal-hal di luar kemampuan si pelaku (unsur ke-3), misal; saat ia melakukan perbuatan sudah terlanjur tertangkap basah/diteriaki orang. Maka di dalam dakwaan tergantung tindak pidananya, misal : Percobaan pencurian: pasal 53 jo 362 KUHP. Percobaan pembunuhan: pasal 53 jo 338 KUHP. Maka untuk pelaku percobaan menurut pasal 53 KUHP, pidananya dikurangi 1/3, namun sering juga terjadi orang mempunyai niat, niat itu sudah ditindaklanjuti, pada saat mau melaksanakan timbul niat dalam pikirannya untuk tidak melanjutkannya/ mengurungkan niatnya, maka di sini merupakan percobaan yang tidak dipidana. Kesimpulannya tidak terselesaikan tindak pidana ada kalanya pengaruh dari luar dan dalam diri orang itu sendiri.
2.2. Pengkhususan Dalam Delik Percobaan

Dalam Buku II KUHP ada bentuk percobaan yang oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik berdiri sendiri (delictum suigeneris), misalnya delik-delik makar (pasal 104 KUHP), hakikatnya adalah percobaan namun dinyatakan berdiri sendiri dikarenakan ancaman pidana dikurangai 1/3-nya. Kemudian pasal 54 KUHP, percobaan terhadap pelanggaran tindak pidana (dalam KUHP Pidana, maka percobaan hanya untuk kejahatan tidak untuk pelanggaran). Ketentuan ini dikecualikan oleh delik-delik di luar KUHP, misalnya delik ekonomi dimana percobaan terhadap pelanggaran justru dipidana (UU No. 7 drt /1955, percobaan terhadap tindak pidana ekonomi justru dipidana dan pidananya justru disamakan dengan pelaku), jadi pasal 53 dan 54 KUHP disimpangi oleh UU ini dan ini dibenarkan dengan/oleh pasal 103 KUHP : Adanya ketentuan yang umum menyimpangi yang khusus.

2.3 Permulaan Pelaksanaan ( Begin Van Uitvoering )

Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan (1995: 18). Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (Soesilo mempergunakan istilah permulaan perbuatan).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT maupun pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan (1985:21). Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:
1. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan);
2. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan uitvoeringshandelingen itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya;
3. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas (Lamintang, 1984: 528).
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoerings-handelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak diberi-kan.
Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam undang-undang. (Sudarto dan Wonosutatno, 1987: 17)..
KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan persiapan dari kapankah perbuatan itu telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik percobaan.
Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat sulit untuk dapat memastikan batas-batas antara tindakan-tindakan persiapan (perbuatan persiapan) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan, sebab undang-undang sendiri tidak dapat dijadikan pedoman (Lamintang, 1985: 531).
2.4 Teori dalam Perumusan Pengenaan Delik Percobaan

paham subjektif menggunakan subjek dari si pelaksanaan sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham mereka itu disebut sebagai paham subjektif, sedangkan para penganut paham objektif menggunakan tindakan dari si pelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga disebut sebagai paham objektif.
Menurut paham objektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum, sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas dihukum karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya (Lamintang, 1984: 531-532).
Dua paham ini sama sama tepat, namun bagi penulis penggunaan paham yang mana dalam memutus sesuatau perkara tentu harus disesuaikan dengan keadaan yang ada dan kasus yang terjadi saat itu.

2.5 Contoh Kasus Percobaan

Tentu untuk lebih mudah mempelajari tindakan percobaan atau pogging ini harus dilihat dari kajian kasus yang pernah terjadi, berikut adalah sebuah kasus yang terjadi di wilayah hukum rokan hilir yang mana telah mendapat vonis dari pengadilan negeri rokan hilir yang menaungi wilayah hukum setempat :
Bapak bernama Robin Sitanggang als. Pak Ridoi pada hari Sabtu tanggal 25 April 2009 sekira pukul 22.30 WIB atau pada waktu lain dalam bulan April 2009, bertempat di Jalan Lintas Riau-Sumut km 26, Dusun Pematang Durian, Desa Balam Sempurna, Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Hal. 1 dari 5 hal.Put.No. 244 K/Pid/2010 Rokan Hilir, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Rokan Hilir, dengan sengaja mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada di situ tiada dengan setahunya atau bertentangan kemauannya orang yang berhak, dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kamauannya, perbuatan mana dilakukannya dengan cara sebagai berikut:
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana diuraikan di atas, Robin Sitanggang als. Pak Ridoi mau pulang ke rumahnya sehingga melewati rumah korban Lasmaria Br Simarmata, Ia melihat sebuah mobil truk Colt Diesel warna kuning yang sedang parkir di Ruko milik korban Lasmaria Br Simarmata sehingga timbul niat Pak Robin untuk mengambil ban serap mobil truk colt Diesel karena sebelumnya ia pernah melihat mobil truk Colt Diesel tersebut lengkap dengan tromolnya yang diletakkan di dalam bak mobil, maka secara diam-diam tanpa sepegetahuan dan tanpa seizin korban Lasmaria Br Simarmata ia kemudian masuk ke dalam rumah dan langsung masuk ke dalam bak mobil truk Colt Diesel untuk bersembunyi yang mana pada saat itu Terdakwa berusaha untuk mengangkat ban serap lengkap dengan tromolnya supaya bisa berdiri, tidak berapa lama kemudian datang korban Lasmaria Br Simarmata untuk memeriksa mobil truk Colt Dieselnya dengan mengintip dari cela pintu belakang bak mobil truk dan ketika melihat Terdakwa berada di dalam kemudian korban Lasmaria Br Simarmata berteriak minta tolong sehingga masyarakat berdatangan ke rumah korban, selanjutnya Terdakwa keluar dari dalam bak mobil truk Colt Diesel sehingga Terdakwa tidak jadi mengambil ban serap mobil milik korban dikarenakan telah diketahui oleh korban dan masyarakat, bahwa perbuatan Terdakwa mengambil ban serap mobil truk Colt Diesel lengkap tromolnya tersebut tanpa seizin dari pihak korban Lasmaria Br Simarmata, bahwa harga ban serap mobil truk Colt Diesel lengkap tromolnya korban Lasmaria Br Simarmata tersebut berkisar Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) ; Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP ; Mahkamah Agung tersebut ; Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Hal. 2 dari 5 hal.Put.No. 244 K/Pid/2010 Rokan Hilir tanggal 26 Agustus 2009 sebagai berikut: Menyatakan Terdakwa Robin Sitanggang als. Pak Ridoi bersalah melakukan tindak pidana percobaan pencurian sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP ; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Robin Sitanggang als. Pak Ridoi berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan
Bah jadi tiga unsur yang juga menjadi tindakan percobaan atau pogging seperti diatas sudah terpenuhi semua
Pertama pak robin atau si terdakwa tentu memiliki niat yang adalah sikap batin yang ada pada dirinya nuntuk mengabil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya dan dengan melawan hukum atau mencuri, dalam benaknya.
Tindakan tindakan permulaan yang menunjukan sikap batin orang tersebut yang diberi jalan sebagai kelanjutan perbuatan dari niatnya untuk mencuri, baki dengan masuk diam diam ke dalam rumah dan ke bak truck tersebut serta yang lainnya, dan terakhir adalah pelaksanaannya tidak tuntas dikarenakan hal hal diluarkemampuan si pelaku, yang mana perbuatannya belum selesai dilaksanakan namun sudah terlebih dahulu ketahuan warga dan si pemilik barang, sikap bati seseorang sebetapatun jahatnya, jika belum diawali dengan tindakan permulaan maka sama sekali tidak dapat dipidana, karena memang hukum positif kita tidaklah dapat menghukum sikap batin yang ada pada diri masing masing orang, namun tindakan permulaan tersebutlah yang menjadi sebuah acuan tentang sebuah perbuatan apa yang hendak dilakukannya, dan perbuatan tersebut pada akhirnya tidak tuntas dikarenakan suatu hal yang diluar kemampuan si pelaku maka hal tersebut sudah dapat dipidana dengan delik percobaan seperti uraian diatas.
Namun tentu perlu diberi catatan juga mengenai delik percobaan ini, seperti yang kita tahu Percobaan merupakan perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan. Percobaan bukan merupakan delik mandiri sehingga harus dilengkapi dengan delik pokok. Percobaan diatur dalam pasal 53 dan 54 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Unsur-unsur percobaan:

1. Dalam rumusan delik dan

2. Diluar rumusan delik. unsur percobaan yang masuk dalam rumusan delik adalah niat (voornemen) dan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Unsur percobaan diluar rumusan delik adalah perbuatan tersebut melawan hukum atau dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-Undang.
Percobaan dapat dikatakan pula sebagai perbuatan pidana yang belum selesai. Namun, ada juga percobaan yang perbuatan pidananya atau delik tersebut telah selesai dilakukan. Misalnya A berniat membunuh X dengan memasukkan racun ke dalam minuman X. Minuman tersebut diminum X lalu X kejang-kejang dan dibawa ke rumah sakit namun dengan penanganan medis yang cepat maka dikeluarkan semua racun pada tubuh X dan X kembali sehat lagi. Pada percobaan pembunuhan terhadap X ini perbuatan pidana atau deliknya telah selesai namun tujuannya yang tidak tercapai karena X tidak mati. Ini yang disebut Delic Manque, delik yang telah selesai namun tujuannya tidak tercapai. Selain itu, ada pula yang dikatakan sebagai Delic Tentative, Jangankan tujuannya tercapai, perbuatannya pun belum selesai dilakukan. Misalnya: A mau membunuh X dengan memasukkan racun pada minuman X. Ketika menuang arsenikum dalam minuman X, perbuatan A ketahuan oleh orang lain sehingga menyebabkan A tidak dapat meracun X. Jadi, dalam delic tentative, delik belum selesai dilakukan sehingga tujuan percobaan pun tidak tercapai.





























BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

1. tindak pidna percobaan sesuai yang diatur dalam pasal 53 KUHP adalah sebuah delik yang menitik beratkap pada perbuatan pidana yang ada dalam KUHP itu sendiri, baik kejahatan maupun pelanggaran, namun percobaan tersebut menurut sejumlah pihak juga adalah sebuah delik yang mampu berdiri sendiri,untuk kasus kasus tertentu, patokan dalam menetapkan apakah perbuatan tersebut adalah perbuatan percobaan pidana atau bukan, harus dilihat dari
1. adanya unsur niat
2. adanya permulaan pelaksanaan
3. dan hal perbuatan tersebut tidak tuntas dikarenakan hal hal diluar kemampuan dari si pelaku.
2. dalam jurisprudensi maupun kasus kasus yang telah ada saat inipun penggunaan antara teori subjektif dan objektif masih sulit untuk ditentukan letak dan waktunya yang tepat, namun, dalam contoh kasus diaatas, penggunaan teori objektif sangat terlihat, ditandai dengan batas dari apa itu tindakan permulaan dan tindakan persiapan yang ditekankan pada tindakan untuk masuk ke truck dan mulai meraba raba truck itu untuk mencuri salah satu komponen yang ada pada truck.