Minggu, 10 Juli 2011

reepost pemeriksaan in absentia pada sidang tipikor

Peradilan In Absentia
01 Jul

i
1 Votes

Quantcast

Peradilan pidana secara in absentia adalah mengadili sorang terdakwatanpa dihadiri oleh terdakwa sendiri sejak mulai pemeriksaan sampai dijatuhkannya hukuman oleh pengadilan. Salah satu prinsip pemeriksaan terdakwa dalam peradilan pidana menurut Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) meengharuskan penuntut umum “menghadirkan” terdakwa di depan sidang pengadilan secara bebas dan juga terdakwa tidak dapat diperiksa secara pengadilan in absentia. Artinya, Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan harus dalam keadaan bebas dan merdeka artinya tidak dalam keadaan terbelenggu baik jasmani maupun rohaninya. Namun secara khusus, tindak pidana korupsi dapat dibenarkan menurut undang-undang untuk diperikasa secara in absentia.
Pengadilan in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa kehadiran terdakwa. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia, hal ini tidak diatur secara jelas, kecuali di dalam :

Pasal 196 KUHAP :
1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.

dan Pasal 214 KUHAP :
1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.
3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.
4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan
5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.

Secara eksplisit pasal 196 KUHAP dan Pasal 214 KUHAP ini mengandung pengaturan terbatas mengenai tidak hadirnya terdakwa dalam persidangan. Namun, peradilan in absentia harus memenuhi beberapa unsur, antara lain; karena terdakwa tinggal atau pergi keluar negeri. Selain itu, adanya usaha pembangkangan dari terdakwa dengan contoh melarikan diri. Dan, terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang jelas walaupun telah dipanggil secara sah (pasal 38 UU RI No 31 Tahun 1999).

Pasal 38 UU No 31 Tahun 1999 :
1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.

Menurut teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijke bewijst theories). Pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbleen grondsIag) yaitu peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.
Berdasarkan teori ini maka ada timbul pertanyaan besar yaitu bagaimanakah hakim mendapatkan keyakinan memutus seseorang bersalah atau tidak tanpa kehadiran tcrdakwa di persidangan (in absentia) ? Jawabannya adalah maka kembali lagi kepada tugas dari pada penuntut umum yang harus membuktikan terdakwa itu bersalah, karena beban pembuktian berada di penuntut umum. Memanng ada asas pembuktian terbalik oleh terdakwa, tetapi dalam pengadilan in absentia, beban pembuktian berada pada penuntut umum.

NB : untuk gugatan/perkara perdata dan tata usaha negara tidak mengenal sidang in absentia

hak atas tanah di indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sudah sangat lama indonesia merdeka dengan agenda land reform yang panjang dan agenda memerdekakan tanah indonesia benar benar bersih dari kekuasaan bangsa bangsa asing sesuai dengan nafas proklamasi pada 17 agustus 1945, namun benarkah tanah indonesia telah benar benar dimerdekakan dari kepemilikan oleh bangsa bangsa asing ?
Pertanyaan ini tentu sangat menyentuh karena belakangan ini banyak sekali dijumpai kasus yang menggelitik tentang kepemilikan tanah di indonesia yang memang secara de yure adalah masih merupakan milik orang indonesia, namun dalam praktek sehari harinya secara de facto tanah ini dikuasai oleh orang asing, yang berkedok membeli tanah atas nama orang indonesia namun kemudian memainkan perjanjian hingga ia bisa menguasai tanah tersebut yang sebelumnya dibeli atas nama orang indonesia suruhannya.
Sebuah fakta yang menggelitik mengingat pada masa ini telah ada Undang Undang pokok agraria yang menjadi landasan hukum dari perbuatan hukum yang menyangkut pertanahan di indonesia, namun praktek sebagaimana yang disebutkan diatas ternyata bukan perkara baru bahkan sudah sering terjadi di masa sebelum UUPA lahir, bagaimana seluk beluk modus tadi, dan tentunya lebih penting bagaimana sebenarnya pengaturan porsi dari hak dari orang asing yang berkedudukan di indonesia atas tanah yang ada di indonesia dari masa ke masa baik saat belum adanya UUPA maupun setelah adanya UUPA menjadi sebuah hal yang menarik bagi penulis untuk diangkat pada makalah kali ini, yang dirasa penulis bisa dijadikan bahan acuan untuk perbaikan hukum di masa yang akan datang di bidang terkait.

1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
1. untuk melihat seperti apa pengaturan mengenai hak atas tanah indonesia oleh orang asiing dari masa ke masa baik sebelum lahirnya UUPA maupun setelah lahirnya UUPA.
2. mempelajari lebih dalam mengenai aturan pertanahan yang menyangkut tanah indonesia dan eksistensi orang asing yang berkedudukan di indonesia atas tanah tersebut.
1.2.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
a. mempelajari lebih dalam tentang hukum pertanahan di indonesia dalam kaitannya dengan hak dari orang asing
b. mempelajari jalan jalan atau hal yang disebut pengasingan tanah di indonesia dari masa sebelum UUPA ada.
c. Mempelajari untuk dapat memberi gambaran umum mengenai hak hak dari orang asing atas tanah di indonesia dengan segala batasan batasan yanga ada.
2. Tujuan Khusus
Untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah hukum agraria di fakultas hukum universitas.............
1.3 Rumusan Masalah
1. Seperti apa ketentuan hak milik atas tanah di indonesia ?
2. Dapatkah orang asing memiliki tanah di indonesia ? bagaimana pengaturannya ? baik sebelum adanya UUPA maupun setelah adanya UUPA ?

1.4 Metoda penulisan
Dalam makalah kali ini penulis menggunakan metoda normatif yang mendasarkan bahan bahan makalah ini pada, bahan hukum primer berupa beberapa peraturan perundanga undangan, baik yang berupa undang – undang, maupun peraturan pemerintah, serta dari bahan hukum sekunder dari beberapa literatur terkait dan bahan hukum sekunder berupa transkrip dan kutipan kutipan beberapa ceramah dan seminar ilmiah serta jurisprudensi di bidang terkait.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hak Milik Menurut Ketentuan UUPA
Milik adalah hak turun-temurun , terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 , bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”.
Sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”, maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh.
Perlu diketahui juga hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, di mana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain mealui perjanjian dimana satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.
Hak atas tanah yang diperoleh dari negara terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Tiap-tiap hak mempunyai karakteristik tersendiri dan semua harus didaftarkan menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 20 UUPA hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak milik juga membawa serentetan aturan lainnya seperti bagaimana timbulnya hak tersebut ?, pembebanan dari hak milik tadi, tentang pembuktiannya, termasuk bagaimana hak tadi bisa hapus ataupun hilang,
2.1.1 Timbulnya Hak Milik
Secara singkat Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu bisa terjadi karena Penetapan Pemerintah atau ketentuan Undang-Undang.
2.1.2 Pembebanan Hak
Pembebenan hak maksudnya adalah hak milik ini bisa dijadikan sebuah pembebanan terhadap satu hutang yang dibebani dengang hak tanggungan, bisa juga dibebankan atas suat perjanjian baik fidusia maupun perjanjian lainnya.
2.1.3 Pembuktian dan bukti pemegang hak
a. Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat
2.1.4 Hapusnya Hak Milik
Salah satu kekhususan dari Hak Milik ini tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya yaitu selama hak milik ini masih diakui dalam rangka berlakunya UUPA, kecuali akan ketentuan Pasal 27 UUPA. Pasal 27 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik itu hapus apabila :
a. Tanahnya jatuh kepada negara :
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3. Karena diterlantarkan
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)
b. Tanahnya musnah.
2.3 Ketentuan Pemegang Hak milik Atas Tanah di Indonesia
Sesungguhnya UUPA sudah mengatur dengan cukup jelas mengenai siapa saja yang bisa memiliki atau memegang hak milik atas tanah di indonesia, seperti yang dapat dilihat pada pasal 21 yang mengatakan bahwa :
1. hanya orang indonesia yang bisa memiliki hak milik atas tanah di indonesia
2. dan badan bandan hukum yang telah mendapat penetapan dari pemerintah lengkap dengan berbagai sarat saratnya.
Pasal ini juga seklaigus telah mengcover pasal sebelumnya yakni pasal 20 yang mengatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun yang mana di dalamnya mengandung arti bahwa hak milik bisa diwariskan menggunakan terstamen maupun tidak, serta hak milik juga bisa dipindahkatangankan yang mana artinya hak milik bisa diperjualbelikan, dihibahkan, atau dijadikan jaminan atas hutang maupun perjanjian dan perikatan tertentu, dimana pasal 21 ini memberi batasan bahwa meski hak milik bisa diwariskan atau dujual dan juga dipindahtangankan dengan cara seperti apapun, hanya orang indonesialah yang berhak dan bisa mendapat, menjual dan menggunakan hak milik atas tanah indonesia tersebut.
Dengan kata lain hak milik atas tanah di indonesia adalah hanya berkaku bisa dimiliki dan dimanfaatkan oleh orang indonesia dengan dan pada orang indonesia saja.
2.4 Sistem “ Ali Baba “ dan kepemilikan tanah oleh WNA sebelum UUPA
2.41 sistem “ ali baba “
Sekilas jika medengar namanya mungkin terasa sangat janggal, namun percaya atau tidak sistem penyelundupan ( pengasingan ) tanah ini benar ada sudah terjadi bahkan sejak belum lahirnya UUPA bahkan prakteknya masih terjadi di masa sekarang ini pasca lahirnya dan berlakunya UUPA.
Sebelum lebih jauh berbicara mengenai sistem pengasingan tanah ini, perlu diketahui bahwa sesunggunhya pada saat sebelum adanya UUPA dikenal dua jenis pengasingan tanah, yakni pengasingan tanah secara langsung dan pengasingan tanah secara tidak langsung, hal hal yang bisa dikatakan sebagai pengasingan ( pemindahan tanah indonesia ke orang asing ) dengan jalan pengasingan langsung adalah pemindahan hak atas tanah indonesia pada orang yang bukan orang indonesia dengan jalan jalan seperti : seperti jual beli, hibah, atau pewarisan dengan jalan legaat ( penunjukan sesuatu tanah milik tertentu bagi seorang yang mewarisinya ) atau dengan membuat serat wasiat ( testamen ) jadi dengan kata lain pengasingan tanah secara langsung sama saja dengan pemindahan hak atas tanah di indoenesia seperti jalan jalan biasa, hanya saja pemindahan ini dilakukan oleh orang indonesia atas tanah indonesia pada orang yang bukan orang indonesia.
Sementara pengasingan yang disebut sebagai pengasingan tanah secara tidak langsung, adalah pengasingan yang akan kita bahas kali ini, pengasingan dengan cara ini juga sering kali diesebut sebagai sistem “ ali baba “, disebut sebagai penyelundupan tanah dengan cara ali baba karena diibaratkan ada dua orang yang bernama ali dan baba, yang mana ali adalah orang indonesia, sementara baba bukanlah orang indonesia,
Kasusnya seperti demikain, baba yang membeli tanah, kemudian baba pula yang mengeluarkan modal dalam pembelian tanah tersebut, ia pula yang lazimnya melakukan perundingan dengan si penjual tanah, dan yang menentukan sarat sarat jual beli, namun perjanjian jual beli ini ditandatanganni diatas nama ali, disamping itu umumnya pihak baba juga telah menyuruh ali untuk menandatangani “ generale volmacht “. Dalam surat kuasa itu si baba diserahkan kekuasaan sepenuhnya berkenaan dengan tanah milik bersangkutan, diduga juga sering kali dibuat suatu surat hutang oleh si ali kepada si baba, dan tanah tersebut dijadikan sebagai sebuah jaminan atas hutang tersebut
Bisa dikatakan jalan ini hanyalah jalan pengasingan tanah dengan menggunakan topeng, jadi dengan kata lain secara de yure hak milik atas tanah memang masih ada di tangan orang indonesia, namun secara de facto hak dan penguasaannya adalah terletak pada orang yang bukan warga negara indonesia tersebut, peraturan peraturan yang ada pada saat itupun mengatakan bahwa cara ini adala batal demi hukum.
Kemudian bagaimana cara mengetahui hal tersebut ? teori yang berkembang saat itu adalah pembuktian secara defacto, dimana, sekitar jual beli tersebut, misalkan si pembeli ini dikenal sebagai orang suruhan atau pengikut dari seseorang yang bukan adalah warga negara indonesia, seperti halnya dengan peristiwa yang cukup besar berkenaan dengan hal ini seperti pembelian tanah oleh mbok minah di bilangan magelang
Perkara ini pernah menarik perhatian umum dan para sarjana hukum, karena pernah seorang hakim menggunakan perkara ini sebagai testcase untuk pihak pihak yang menggunakan modus serupa untuk penyelundupan tanah dengan cara ali baba tersebut.
2.4.2 dapatkah orang asing memiliki hak milik rumah di atas tanah indonesia.
Perkara diatas sudah menjabarkan bahwa jalan bagi orang asing untuk memiliki tanah di indonesia dengan status hak milik adalah dilarang dan tidak dibenarkan dengan segala jalan pengasingan tanah yang ada sebagaimana dijabarkan diatas, namun adalah suatu pertanyaan yang menarik, tentang apakah sebuah rumah batu yang didirikan diatas sebidang tanah di indonesia dapat dijual kepada orang selain orang indonesia ?
Pertanyaan ini memiliki dua kajian yang berbeda pada masa itu, yakni pada masa sebelum lahirnya UUPA, yang pertama adalah kajian dari hukum adat yang mengatakan, rumah batu dan tanah tempat rumah tersebut dibangun adalah terpisah, bukan sebagai satu kesatuan sebagaimana yang diatur dalam hukum barat yang dituangkan dalam burgerlijk wetboek yang mengatur bahwa seseorang yang memiliki tanah eigendom harus memiliki bangunan diatasnya seperti juga yang ada pada pasal 571 BW.
Pertanyaan lain yang juga menyeruak adalah tidakkah hal ini bisa juga disebut sebagai pengasingan tanah secara tidak langusng ?
Pertanyaan ini mendapat penafsiran dan jawaban yang berbeda beda dari berbagai ahli hukum, maka dari itu, jurisprudensi atau putusan hakim yang terkait dirasa mampu menjadi jawaban yang setidaknya memiliki kepastian dari segi hukum untuk dijabarkan, namun lebih buruknya lagi justru putusan hakim tentang hal ini juga tidaklah sepaham ada putusan yang menganggap penjualan bangunan rumah diatas tanah indonesia pada orang asing adalah batal, ada juga yang mengemukakan bila rumah dan juga tanah yang dibeli maka keduanya adalah batal, pembatalan tidak hanya meliputi tanahnya saja namun juga meliputi bangunan rumah diatasnya, namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pembatalan itu adalah terpisah, pembatalan yang dapat dilakukan adalah bilamana berkenaan dengan tanahnya saja, namun mengenai bangunan diatasnya hanya batal jika dibeli dengan tujuan bukan untuk dipindahkan, namun untuk ditempati diatas tanah tersebut, sementara jika tujuannya dibelinya untuk dirubuhkan dan atau dipindahkan ke tempat lain adalah sah.
2.4 Aturan UUPA dibidang hak orang asing atas tanah di indonesia.
Jika dirujuk pada UUPA maka batasan dari orang asing yang berkedudukan di indonesia, dapat dilihar hanya pada hak pakai dan hak sewa saja.
Sementara pada hak hak lain kemungkinan orang asing untuk memilikinya hampir tidak ada, selain pasal 21 tentang siapa yang berhak memegang hak milik atas tanah di indonesia, hal seperti demikian diatur juga pada pasal pasal lain seperti misalnya bisa kita lihat pada pasal pasal dalam UUPA berikut :
Pasal 30. UUPA yang mengatur tentang hak guna usaha ditekankan bahwa Pada ayat (1) Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah.
a. warga-negara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
sementara sanksi yang semakin menegaskan ayat ( 1 ) tadi dapat dilihat pada ayat ( 2 ) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak gunausaha, yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Artinya adalah ketika seseorang melepaskan hak guna usahanya pada orang asing dengan pengasingan baik langsung maupun tidak langung ( penyelundupan semisal dengan sistem ali baba ) adalah sebuah pelanggaran hukum dan sanksinya bukan lagi batal, namun hak guna usahanya langsung musnah saat itu juga.
Sementara hak lainnya yakni hak guna bangunan yang sebelumnya mendapat polemik sebagaimana diuaraikan diatas tentang sebuah rumah batu yang ada diatas tanah yang haknya terpisah, UUPA juga menerapkan aturan yang serupa dengan hak guna usaha, sebagaimana tertuang dalam pasal 36 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) maka ketika aturan ini ada seharunya tidak ada lagi polemik apakah yang batal hanya tanahnya atau rumahnya saja atau keduanya, karena ketika orang asing memiliki bangunan diatas tanah yang mana ia tidak memiliki hak sewa atau hak pakai diatasnya maka itu sudah dianggap batal. Jadi tidak ada lagi perjanjian yang mengamankan orang asing untuk menggunakan sistem ali baba dalam hal terbatas pada tanah sebagaimana yang terjadi pada polemik minah yang telah dijabarkan di sub bahasan sebelumnya.
Sementara hak pakai yang adalah hak untuk menggunakan tanah yang ada di bawah kekuasaan negara secara langsung dengan izin negara melalui badan badan dan pejabat terkait dimungkinkan untuk dimiliki oleh orang asing dan lembaga lembaga asing yang berkedududkan di indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 42 UUPA
Demikian juga halnya dengan hak sewa sebagaimana diatur dalam pasal 45 UUPA.
2.5 Hak Milik atas Tanah Indonesia setelah adanya UUPA
Secara normatif UUPA telah dengan tegas mengatur mengenai hal ini Semisal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21. Ayat (1 sampai dengan 4) UUPA yang mengatur masing masing tentang orang orang atau siapa saja yang bisa memiliki hak milik atas tanah di indonesia yakni :
1. Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
4. Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.enai hal ini dalam beberapa pasal yang ada
Disamping itu mengenai perkara yang dahulu sering terjadi seperti sistem penyelundupan tanah dengan sistem atau jalan ali baba coba dihindarkan oleh UUPA dengan pasal 26 yang mengatur tentang :
1. Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang.dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Dengan kata lain diharapkan perkara perkara lama yang pernah terjadi di era sebelum lahirnya UUPA bisa dimimalisir sehingga tujuan dari land reform dan demokrasi indonesia di bidang pertanahan bisa berjalan dengan lancar tanpa adanya lagi sengketa kepemilikan tanah yang memiliki hubungan yang abadai dengan bangsa ini, dengan pihak asing yang dikarenakan kurang nasionalis dan tegasnya aturan hukum yang mengatur hal hal terkait.


















BABIII
PENUTUP
2.1 Simpulan
1. pengaturan tentang hak milik atas tanah di indonesia secara gamblang telah ditentukan dan diatur dalam UUPA atau UU no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, yang menegaskan utamanya bahwa hak milik adalah hak tertinggi atas tanah di indonesia, yang mana haknya adalah hak turun temurun, serta hak ini selain memiliki tingkatan tertinggi sebagai hak, juga memiliki fungsi lain yakni sebagai fungsi tanggungan yang bisa dijadikan sebuah tanggungan dalam sebuah hutang piutang yang mana hak ini diikuti oleh hak tanggungan, hak milik atas tanah juga bisa dipindahtangankan, baik dengan waris, jual beli, hibah , dll, namun hanya diizinkan bagi orang indonesia saja maksudnya hak ini hanya berlaku pada, oleh, untuk dan dari orang indonesia saja, ataupun badan badan usaha yang ditetapkan pemerintah dengan sarat saratnya, serta sangat tidak diperkenankan jatuh pada orang asing atau lembaga asing dengan cara seperti apapun,
Hak inipun bisa saja musnah jika terjadi pencabutan hak untuk kepentingan bangsa dan negara sebagaimana yang diatur dalam pasal 18 UUPA, dan juga karena penyerahan sukarela, dan jika tanahnya ditelantarkan atau pemilik hak menyalahgunakan hanknya hingga hak milik ini jatuh ke tangan orang asing atau lembaga asing yang bukan orang indonesia ataupun bukan lembaga indonesia, serta kerana tanahnya itu sendiri telah musnah.
2. sesungguhnya orang asing baik ketika sebelum adanya UUPA maupun setelah adanya UUPA tidak dibenarkan memiliki tanah di indonesia dalam artian memegang hak milik yang adalah hak tertinggi dan hanya untuk orang atau lembaga tertentu dari indoneisa, namun yang mengalami pergeseran adalah pada hak guna bangunan yang dahulu, sangat riskan, dan sulit untuk dikaji hingga menimbulkan penafsiran yang berbeda, bukan hanya dikalangan praktisi atau sarjana hukum saja, bahkan sapai di para hakim yang menimbulkan kesimpang siuran dari putusan yang dikeluarkan sehubungan dengan guna bangunan, hak guna bangunan yang memiliki pengertian berupa membangun atau memiliki sebuah bangunan diatas tanah yang bukan miliknya dahulu sangat sulit diselesaikan jika ada sengketa karena belum adanya satuan hukum secara nasional yang mengatur tentang bangunan dan tanah tempat bangunan itu berdiri, adalah satu kesatuan ataukah terpisah, sehingga harus dikaji dengan hukum adat dan hukum barat, namun lahirnya UUPA memberi batasan yang keras bahwa orang asing tidak bisa juga mendapatkannya tanpa toleransi hingga hak orang asing atas tanah di indonesia ahanya terletak pada hak pakai dan hak sewa saja.
Dengan kata lain orang asing benar benar tidak boleh memiliki hak lebih selain hak pakai yang langsung berhadapan dengan negara dan penyelenggaranya atau hak sewa saja, apalagi hak milik yang adalah hak tertinggi, dengan jalan apapun termasuk sistem ali baba yang dahulu sangat menarik perhatian juga telah coba ditahan UUPA melalui pasal 26 baik ayat 1 maupun ayat 2.













DAFTAR PUSTAKA

• Bahan Hukum Primer ( Peraturan Perundang Undangan )
UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Landraad purwodadi, 30 nop, 1933, T, 139/242
Landraan Magelang, 14 mei 1928, pejabat landrechter Mr. P. M letterie, diumumkan dalam kolonial Tijdschrift, 1928, h 570.

• Bahan Hukum sekunder ( literatur )
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1990.
Gautama sudargo, masalah agraria berikut peraturan peraturan dan contoh contoh, alumni, bandung, 1973.hal. 41
• Bahan Hukum tersier
Mrs. Soepomo dan W.F.C. van hattum, dihadapan Kongres ahli hukum Keempat di jakarta tahun 1936, het vervreemdingsverbord van inlandse gronden, bijlage dari T.144 h. 102 dan 162

kejahatan terhadap harta benda

BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian Umum
Kejahatan terhadap harta benda bisa digolongkan atau dilihat pada buku kedua pada kitab Undang- undang hukum pidana ( KUHP ), tentang kejahatan, dimana dalam kejahatan terhadap harta benda ini dikatakan sebagai suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas benda milik orang lain dengan melawan hukum tentunya, buku II pada KUHP tidaklah memiliki pasal yang mencantumkan kejahatan seperti ini dengan nama kejahatan terhadap harta benda, namun ada dalam beberapa jenis kejahatan yang keseluruhannya adalah perbuatan yang sama, yakni mengambil, menggelapkan, merusak dan segalanya yang berhubungan dengan mengganggu hubungan hukum antara satu harta benda dengan pemiliknya, adapun segala delik pasal yang mengatur kejahatan jenis ini memiliki unsur unsur subjektif dan objektifnya masing masing.
2.2 Jenis – jenis Kejahatan Terhadap Harta Benda
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa kejahatan terhadap harta benda adalah tindak kejahatan yang menyerang kepentingan dan hubungan hukum antara satu harta benda dengan pemiliknya dengan melawan hukum, telah disinggung pula bahwa kejahatan ini dalam KUHP dapat dilihat dalam beberapa pasal yakni diantaranya pasal tindak pidana tentang :
a. pencurian (diefstal): mengambil barang orang lain untuk memilikinya, yang mana terdapat dalam bab XXII KUHP
b. pemerasan (afpersing); memaksa orang lain dengan kekerasan untuk memberikan sesuatu, yang bersama sama dengan pengancaman ada pada bab XXIII
c. pengancaman (afdreiging): memaksa orang lain dengan ancaman untuk memberikan sesuatu.
d. penggelapan barang (verduistering): memiliki barang bukan haknya yang sudah ada di tangannya, ada pada bab XXIV
e. merugikan orang yang berpiutang: sebagai orang yang berpiutang berbuat sesuatu terhadap kekayaan sendiri dengan merugikan si berpiutang (creditor) ada pada bab XXVI
f. penghancuran atau perusakan barang: melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu, yang dapat dilihat pada bab XXVII
g. penadahan: menerima atau memperlakukan barang yang diperoleh orang lain secara tindak pidana, yang ada pada bab XXX




BAB III
PENCURIAN, serta PEMERASAN dan PENGANCAMAN
3.1 Pencurian
Pertama, Tindak pidana penncurian dalam bentuk pokok, dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, yang berbunyi:
”barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah” Pencurian dalam bentuk pokok ini mengadung unsur objektif dan subjektif.
a. Unsur Objektif
1. Barang siapa
yaitu subjek atau pelaku dari tindak pidana. biasa diartikan barang siapa dalam artian manusia, karena pidana penjara yang diancamkan terhadap pelaku pencurian merupakan suatu ’vrijheidsstraf’, yakni suatu pidana yang bertujuan untuk membatasi kebebasan pelaku, dan pidana denda merupakan suatu ’vermogenstraf’, yakni pidana yang bertujuan untuk mengurangi harta kekayaan pelaku. ’vrijheidsstraf’ dan ’vermogenstraf’ hanya bisa ditimpakan kepada manusia. Karena yang dapat dikurangi harta kekayaan sebagai suatu pidana ini bukan hanya manusia saja, maka ada yang mengartikan barang siapa atau Hij ini manusia atau suatu badan hukum. Lamintang menyalahkan pendapat bahwa suatu badan hukum bisa dijadikan pelaku pencurian dengan alasan karena dalam penjelasan tentang pembentukan pasal 59 KUHP mengatakan: ”suatu tindakan pidana itu hanya dapat dilakukan oleh seorang manusia. Anggapan seolah-olah suatu badan hukum itu dapat bertindak seperti seorang manusia, tidak berlaku di bidang hukum pidana.”
2. Mengambil
artinya membawa barang dari tempat asalnya ke tempat lain. Jadi barang tersebut harus bersifat dapat digerakan, dapat diangkat dan dipindahkan. Adapun istilah ’mencuri tanah’ itu maksudnya memiliki tanah tanpa hak. Kemudian apabila seorang pencopet memasukan tangannya kedalam tas orang lain dan memegang dompet uang yang tersimpang di tas itu dengan maksud memilikinya, akan tetapi si copet belum berhasil telah ketahuan oleh yang punya dan dipukul sehingga ia harus melepaskan pegangannya, maka belumlah dapat dikatakan bahwa si tukang copet ”mengambil” dompet itu, sebab dompet masih berada di dalam tas yang punya. Si tukang copet di tuntut melakukan percobaan pencurian bukan pencurian.
3. Suatu Benda
artinya ada benda yang diambil pelaku. Adapun yang dimaksud dengan benda ini harus sesuatu yang berharga atau bernilai bagi korban . Barang yang diambil itu tidak terbatas mutlak milik orang lain tetapi juga sebagian dimiliki oleh si pencuri, yaitu apabila merupakan suatu harta warisan yang belum dibagi, dan si pencuri termasuk dalam ahli waris yang turut berhak atas barang itu.
4. Sebagian atau Seluruhnya Milik Orang Lain
artinya barang tersebut bukan milik pelaku tetapi merupakan milik orang lain secara utuh atau sebagian, jika barang itu milik si pencuri atau barang temuan maka tidak termasuk pencurian.
b. Unsur Subjektif
Menguasai benda tersebut dengan melawan hukum. Mentri kehakiman menyatakan bahwa yang dimsaksud dengan ’oogmerk’ atau maksud dalam pasal 362 ialah naaste doel ataupun dalam dokrin disebut bijkomend oogmerk atau maksud lebih lanjut. ’Maksud menguasai barang’ berarti untuk memiliki bagi diri sendiri atau dijadikan sebagai barang miliknya. Menurut Wirjono, ada suatu kontradiksi antara ’memiliki barang’ dan ’melawan hukum’. ’Memiliki barang’ itu berarti menjadikan dirinya pemilik, sedangkan untuk menjadi pemilik suatu barang harus menurut hukum. Maka sebenarnya tidak mungkin orang memiliki barang milik orang lain dengan melanggar hukum karena kalau melanggar hukum, tidak mungkin orang menjadi pemilik barang. Oleh karaena itu, Wirjono mendefinisikan memiliki barang dengan melawan hukum tersebut adalah berbuat sesuatu dengan suatu barang seolah-olah pemilik barang itu, dan dan dengan perbuatan itu si pelaku melanggar hukum.
Namun kemudian unsur objektif ini berkembang pada pemikiran seperti apa bentuk memiliki, karena tidaklah selalu seseorang mencuri untuk dimiliki dalam artian menggunakan barang curian tersebut sendiri, dalam hal ini Mr. R Tresna mengemukakan pendapatnya mengenai hal terkait :
a) bahwa yang mengambil itu bermaksud untuk memiliki barang itu, artinya terhadap barang itu ia bertindak seperti yang punya.
b) bahwa memiliki barang itu harus tanpa hak, artinya dengan memperkosa hak orang lain atau berlawanan dengan hak orang lain.
c) yang mengambil itu harus mengetahui, bahwa pengambilan barang itu tanpa hak
adapun juga dalam pencurian dikenal pula beberapa jenis pencurian selain pencurian dalam artian dasarnya, yakni pencurian dengan kualifikasi pemberatan, dimana pencurian jenis ini diatur pada pasal 363 KUHP, Pencurian ringan pada pasal 364 KUHP dan pencurian dengan kekerasan pada pasal 365 KUHP.
3.2 Pemerasan dan Pengancaman.
Jenis kejahatan ini masih memiliki korelasi dengan tindak kejahatan pencurian khususnya pada pasal 365 yakni pencurian dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan, pemerasan dan pengancaman diatur dalam pasal 368 hingga 371, namun pengertian dan unsur dari kejahatan ini dapat dilihat pada pasal 368 dan 369.
a. Unsur Objektif.
Dari dua pasal yang ada yakni pasal 368 dan 369, didapat unsur objektif berupa :
1. Barang siapa : dalam artian sama dengan pada delik pasal pencurian, yakni setiap orang siapapun yang melakukan perbuatan sebagaimana pada delik pasal ini dapat dijerat dengan ketentuan pasal tentang pemerasan dan pengancaman ini.
2. Memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan : unsur delik ini dapat ditemukan pada pasal 368 yang mana memiliki arti bahwa yang menjadi sarana bagi pelaku dalam memenuhi keinginnannya dalam melakukan tindak pidana adalah ancaman kekerasan fisik, berbeda pada pasal 369 yang mana ancaman yang ditonjolkan bukan ancaman kekerasan fisik namun ancaman perusakan nama baik dengan pengancaman membuka rahasia.
3. Dengan tujuan agar orang menyerahkan barang yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang tersebut atau orang lain : maknannya adalah ada perbedaan antara jenis kejahatan ini dengan pencurian yang mana ppencurian pada rumusan deliknya menekankan pelaku mengambil barang tersebut tanpa diserahkan oleh si pemilik, namun pada kejahatan ini pemilik yang dipaksa dengan segala ancaman yang ada menyerahkan sendiri barangnya pada pelaku.
b. Unsur Subjektif
Pada rumusan pasal tersebut yang menjadi unsur subjektif adalah pada kata dengan maksud menguntungkan diri sendiri, dalam artain pada pelaksanaan kejahatannya pelaku telah memilik kesadaran pribadi secara emosionalnya untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan melakukan kejahatan tersebut.





BAB IV
PENGGELAPAN dan PERBUATAN YANG MERUGIKAN ORANG YANG BERPIUTANG
4.1 Penggelapan
Dalam KUHP, Penggelapan dimuat dalam buku II bab XXIV yang oleh Van Haeringen penggelapan diartikan dengan Istilah “geheel donkermaken” atau sebagai “uitstraling van lichtbeletten” yang artinya “membuat segalanya menjadi gelap” atau “ menghalangi memancarnya sinar” Sedangkan Lamintang dan Djisman Samosir mengatakan akan lebih tepat jika istilah Penggelapan diartikan sebagai “penyalah gunaan hak” atau “penyalah gunaan kekuasaan”. Akan tetapi para sarjana ahli hukum lebih banyak menggunakan kata “Penggelapan“. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian yang dijelaskan dalam pasal 362. Hanya saja pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pelaku dan masih harus diambilnya, sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan.
a. Unsur subjektif
1. Unsur kesengajaan; memuat pengertian mengetahui dan menghendaki. Berbeda dengan tindak pidana pencurian yang tidak mencantumkan unsur kesengajaan atau ‘opzettelijk’ sebagai salah satu unsur tindak pidana pencurian. Rumusan pasal 372 KUHP mencantumkan unsur kesengajaan pada tindak pidana Penggelapan, sehingga dengan mudah orang mengatakan bahwa penggelapan merupakan opzettelijk delict atau delik sengaja.
b. Unsur objektif
1. Barang siapa; seperti yang telah dipaparkan dalam tindak pidana pencurian, kata ‘barang siapa’ ini menunjukan orang. Apabila seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau ‘dader’
2. Menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki); mentri kehakiman pemerintahan kerajaan Belanda, menjelaskan maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda seolah-olah ia merupakan pemiliknya, bertentangan dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya.
3. Suatu benda; ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan ataupun dalam prakteknya sering disebut ‘benda bergerak’
4. Seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain; sebagaimana keterangan Simons, “penggelapan atas benda yang sebagian merupakan kepunyaan orang lain itu dapat saja terjadi. Barang siapa atas biaya bersama telah melakukan suatu usaha bersama dengan orang lain, ia tidak boleh menguasai uang milik bersama itu untuk keperluan sendiri”.
5. Benda Yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan; yaitu harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan. Misalnya, karena dititipkan, dipinjamkan, disewakan, atau digadaikan kepada pelaku
Misalnya : si A menyewa sepeda kepada si B, kemudian si A menjual sepeda tersebut tanpa sepengetahuan si B. (dengan demikian si A dianggap telah melakukan penggelapan karena dia tidak memiliki hak untuk menjual sepeda tersebut)

contoh gugatan cerai

Contoh Surat gugatan percaraian
Denpasar………………..20….
Kepada Yth:
Bapak Ketua Pengadilan
Negeri Denpasar
Di - Denpasar
Dengan hormat
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, nama I wayan Sri Karyati Rahayu, umur 24 tahun, pekerjaan swasta, agama hindu, bertempat tinggal di jalan dewi sartika kecamatan, dempasar barat, kotamadya denpasar, selanjutnya disebut PENGGUGAT
Dengan ini penggugat hendak mengajukan gugatan perceraian terhadap
Wayan suntia, agama hindu, umur 25 tahun, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di jl dewi sartika kecamatan, dempasar barat, kotamadya denpasar, selanjutnya disebut TERGUGAT
Adapun yang menjadi dasar-dasar dan alas an diajukannya gugatan perceraian adalah sebagai berikut:
Pada 11 Januari 2001, telah terjadi perkawinan antara PENGGUGAT dan TERGUGAT secara adat Bali di dengpasar ; Selama melangsungkan perkawinan Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 2 orang anak yaitu: wayan lempe, laki-laki, lahir di Kuta Utara, tanggal_______dengan Akta Kelahiran No_____tertanggal_____ dan made lesu, perempuan, lahir di Kuta Selatan, tanggal_____dengan Akta Kelahiran No_______tertanggal_____keduanya belum dewasa__________________________________________________________________
Bahwa selama perkawinan telah diperoleh harta kekayaan bersama yang berupa barang barang yang tertera di bawah ini
1. Sepuluh unit mobil mewah dari berbagai merk yang diperoleh selama perkawinan yang ditaksir keseluruhan seharga Rp. 10.000.000.000,- ( sepuluh milliar rupiah )______________
2. Sebuah pabrik keramik nama “ …………….” Yang terletak di jalan………......, desa…….., kecamata…….., kabupaten…………., yang dibeli dari orang bernama Ketut krupuk, umur 44 tahun, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di……………., kecamatan……….., kabupaten……….., pada tahun 2002 dengan harga Rp 5.000.000.000,- ( lima miliar rupiah )
3. Sebuah rumah permanen dengan ukuran……… X ………… meter yang terletak di jalan dewi sartika kecamatan, dempasar barat, kotamadya denpasar, yang dibangun pada tahun 2001 yang kalau dinilai sekarang harganya Rp. 3.000.000.000,- ( tiga miliar rupiah )
4. Alat perabot rumah tangga yang diperoleh selama perkawinan yang ditaksir keseluruhan harganya seharga Rp. 100.000.000 ( Seratus juta rupiah )_____________________________ Sejak awal perkawinan berlangsung, Tergugat telah memiliki kebiasaan dan sifat yang baru diketahui oleh Penggugat saat perkawinan berlangsung yaitu mabuk, kasar, sering memukul serta selalu pulang larut tanpa alasan yang jelas ; Meski Tergugat bekerja, namun sebagian besar penghasilannya dipergunakan tidak untuk kepentingan dan nafkah anak dan istrinya ; Apabila Penggugat memberikan nasehat, Tergugat bukannya tersadar serta mengubah kebiasaan buruknya namun melakukan pemukulan terhadap Penggugat di depan anak-anak Penggugat/Tergugat yang masih kecil-kecil ; Kebiasaan kasar Tergugat makin menjadi setelah kelahiran anak kedua dari Penggugat/Tergugat ; Tergugat juga tidak pernah mendengarkan dan membicarakan masalah ini secara baik dengan Penggugat yang akhirnya mendorong Penggugat untuk membicarakan masalah ini dengan keluarga Tergugat untuk penyelesaian terbaik dan pihak keluarga Tergugat selalu menasehati yang nampaknya tidak pernah berhasil dan Tergugat tetap tidak mau berubah ; Sikap dari Tergugat tersebut yang menjadikan Penggugat tidak ingin lagi untuk melanjutkan perkawinan dengan Tergugat ; Lembaga perkawinan yang sebenarnya adalah tempat bagi Penggugat dan Tergugat saling menghargai, menyayangi, dan saling membantu serta mendidik satu sama lain tidak lagi didapatkan oleh Penggugat. Rumah tangga yang dibina selama ini juga tidak akan menanamkan budi pekerti yang baik bagi anak-anak Penggugat/Tergugat.
Berdasarkan uraian diatas, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk memutuskan
1. Menerima gugatan penggugat
2. Mengabulkan gugatan penggugat untuk keseluruhan
3. Menyatakan putusnya ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana dalam Akta Perkawinan No____yang tercatat di Kantor Urusan Agama Petukangan Jakarta Selatan
4. Menyatakan hak asuh dan pemeliharaan anak berada dalam kekuasaan penggugat
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan, nafkah anak sebesar Rp. 30.000.000,00 / bulan
6. Membebankan seluruh biaya perkara kepada Tergugat.
Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, Penggugat mohon putusan yang seadil-adilnya

Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih
Denpasar,______
Hormat Penggugat

Percobaan dalam tindak pidana

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perumusan delik di dalam hukum pidana banyak hal yang bersifat unik dan perlu pengkajian khusus, biasanya delik delik semacam ini ditempatkan sebagai delik sekunder atau bukanlah delik primer yang dikategorikan dalam pelanggaran maupun kejahatan, namun berhubungan erat dengan kedua hal tadi, baik pelanggaran maupun kejahatan, diantaranya adalah percobaan ( pogging ) yang diatur dalam pasal 53 KUHP, dimana pasal ini mengatakan :

1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, diajukan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Percobaan dalam tindak pidana ini tergolong unik karena dalam perumusan delik percobaan ini sering kali menemukan kesulitan dalam penentuan batasan dari percobaan itu sendiri, dan kesulitan lain yang acap kali ditemukan adalah, penentuan batasa antara tindakan persiapan dan tindakan pelaksanaan, apakah orang yang baru melakukan tindakan persiapan dapat dijerat dengan delik percobaan ataukah hanya bisa dijerat jika telah terjadi perbuatan pelaksanaan dari tindak pidana tersebut, masalah lain yang muncul adalah, dimana batasan dari tindakan persiapan dan tindakan pelaksanaan. Hal tersebut yang melatar belakangi penulis dalam penuliasan paper kali ini.

1.2 Maksud Dan Tujuan

1.2.1 Maksud

1. Untuk mengetahui seperti apa itu delik percobaan dalam tindak pidana
2. Untuk mengetahui apa saja unsur yang bisa menyebabkan seseorang dijerat dengan tindak percobaan sesuai dengan yang diatur dalam pasal 53 KUHP

1.2.2. Tujuan

1. untuk menilik lebih dalam unsur yang ada dalam tindak percobaan dalam hukum pidana.
2. Untuk mengetahui seperti apa penggunaan delik percobaan tersebut dalam kasus yang telah ada di masyarakat.

1.3 Rumusan masalah

1. Seperti apa tindak pidana percobaan tersebut, dan apa saja unsur yang menjadi patokan bahwa tindakan tersebut adalah tindak pidana percobaan ?
2. Seperti apa pengenaan delik percobaan tersebut jika dilihat dari jurisprudensi yang ada saat ini ?

1.4 Metoda Penulisan

Dalam paper kali ini penulis menggunakan metode normatif
Normatif primer yang menggunakan sumber dari hukum positif yang berlaku di indonesia dan utamanya dari KUHP
Serta normatif sekunder yang menggunakan sumber dari sebuah putusan pengadilan mengenai tindak pidana percobaan.

























BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Apa Itu Pogging

Pada umumnya suatu tindak pidana diselesaikan secara tuntas oleh si subjek, tidak timbul permasalahan dan dinyatakan sebagai tindak pidana/kejahatan. Namun sering terjadi dimana subjek tidak dapat tuntas menyesaikan tindak pidana yang diinginkan, masalah ini menyangkut ajaran percobaan (poging/attemp). Ini diatur dalam pasal 53 KUHP dengan unsur-unsurnya;

1. Ada niat,
2. Harus ada permulaan pelaksanaan,
3. Pelaksanaan tidak tuntas dikarenakan hal-hal diluar kemampuan si subjek.

Ketiga unsur tersebut merupakan syarat untuk dipidananya pelaku percobaan.Mengenai unsur pertama yaitu niat, Moeljatno mengatakan niat dalam pasal 53 KUHP belum dapat dikatakan kesengajaan sebelum niat itu ditindaklanjuti. Yang dimaksud dengan hal-hal di luar kemampuan si pelaku (unsur ke-3), misal; saat ia melakukan perbuatan sudah terlanjur tertangkap basah/diteriaki orang. Maka di dalam dakwaan tergantung tindak pidananya, misal : Percobaan pencurian: pasal 53 jo 362 KUHP. Percobaan pembunuhan: pasal 53 jo 338 KUHP. Maka untuk pelaku percobaan menurut pasal 53 KUHP, pidananya dikurangi 1/3, namun sering juga terjadi orang mempunyai niat, niat itu sudah ditindaklanjuti, pada saat mau melaksanakan timbul niat dalam pikirannya untuk tidak melanjutkannya/ mengurungkan niatnya, maka di sini merupakan percobaan yang tidak dipidana. Kesimpulannya tidak terselesaikan tindak pidana ada kalanya pengaruh dari luar dan dalam diri orang itu sendiri.
2.2. Pengkhususan Dalam Delik Percobaan

Dalam Buku II KUHP ada bentuk percobaan yang oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik berdiri sendiri (delictum suigeneris), misalnya delik-delik makar (pasal 104 KUHP), hakikatnya adalah percobaan namun dinyatakan berdiri sendiri dikarenakan ancaman pidana dikurangai 1/3-nya. Kemudian pasal 54 KUHP, percobaan terhadap pelanggaran tindak pidana (dalam KUHP Pidana, maka percobaan hanya untuk kejahatan tidak untuk pelanggaran). Ketentuan ini dikecualikan oleh delik-delik di luar KUHP, misalnya delik ekonomi dimana percobaan terhadap pelanggaran justru dipidana (UU No. 7 drt /1955, percobaan terhadap tindak pidana ekonomi justru dipidana dan pidananya justru disamakan dengan pelaku), jadi pasal 53 dan 54 KUHP disimpangi oleh UU ini dan ini dibenarkan dengan/oleh pasal 103 KUHP : Adanya ketentuan yang umum menyimpangi yang khusus.

2.3 Permulaan Pelaksanaan ( Begin Van Uitvoering )

Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan (1995: 18). Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (Soesilo mempergunakan istilah permulaan perbuatan).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT maupun pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan (1985:21). Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:
1. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan);
2. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan uitvoeringshandelingen itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya;
3. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas (Lamintang, 1984: 528).
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoerings-handelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak diberi-kan.
Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam undang-undang. (Sudarto dan Wonosutatno, 1987: 17)..
KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan perbuatan persiapan dari kapankah perbuatan itu telah merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik percobaan.
Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat sulit untuk dapat memastikan batas-batas antara tindakan-tindakan persiapan (perbuatan persiapan) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan, sebab undang-undang sendiri tidak dapat dijadikan pedoman (Lamintang, 1985: 531).
2.4 Teori dalam Perumusan Pengenaan Delik Percobaan

paham subjektif menggunakan subjek dari si pelaksanaan sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham mereka itu disebut sebagai paham subjektif, sedangkan para penganut paham objektif menggunakan tindakan dari si pelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga disebut sebagai paham objektif.
Menurut paham objektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum, sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas dihukum karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya (Lamintang, 1984: 531-532).
Dua paham ini sama sama tepat, namun bagi penulis penggunaan paham yang mana dalam memutus sesuatau perkara tentu harus disesuaikan dengan keadaan yang ada dan kasus yang terjadi saat itu.

2.5 Contoh Kasus Percobaan

Tentu untuk lebih mudah mempelajari tindakan percobaan atau pogging ini harus dilihat dari kajian kasus yang pernah terjadi, berikut adalah sebuah kasus yang terjadi di wilayah hukum rokan hilir yang mana telah mendapat vonis dari pengadilan negeri rokan hilir yang menaungi wilayah hukum setempat :
Bapak bernama Robin Sitanggang als. Pak Ridoi pada hari Sabtu tanggal 25 April 2009 sekira pukul 22.30 WIB atau pada waktu lain dalam bulan April 2009, bertempat di Jalan Lintas Riau-Sumut km 26, Dusun Pematang Durian, Desa Balam Sempurna, Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Hal. 1 dari 5 hal.Put.No. 244 K/Pid/2010 Rokan Hilir, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Rokan Hilir, dengan sengaja mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada di situ tiada dengan setahunya atau bertentangan kemauannya orang yang berhak, dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kamauannya, perbuatan mana dilakukannya dengan cara sebagai berikut:
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana diuraikan di atas, Robin Sitanggang als. Pak Ridoi mau pulang ke rumahnya sehingga melewati rumah korban Lasmaria Br Simarmata, Ia melihat sebuah mobil truk Colt Diesel warna kuning yang sedang parkir di Ruko milik korban Lasmaria Br Simarmata sehingga timbul niat Pak Robin untuk mengambil ban serap mobil truk colt Diesel karena sebelumnya ia pernah melihat mobil truk Colt Diesel tersebut lengkap dengan tromolnya yang diletakkan di dalam bak mobil, maka secara diam-diam tanpa sepegetahuan dan tanpa seizin korban Lasmaria Br Simarmata ia kemudian masuk ke dalam rumah dan langsung masuk ke dalam bak mobil truk Colt Diesel untuk bersembunyi yang mana pada saat itu Terdakwa berusaha untuk mengangkat ban serap lengkap dengan tromolnya supaya bisa berdiri, tidak berapa lama kemudian datang korban Lasmaria Br Simarmata untuk memeriksa mobil truk Colt Dieselnya dengan mengintip dari cela pintu belakang bak mobil truk dan ketika melihat Terdakwa berada di dalam kemudian korban Lasmaria Br Simarmata berteriak minta tolong sehingga masyarakat berdatangan ke rumah korban, selanjutnya Terdakwa keluar dari dalam bak mobil truk Colt Diesel sehingga Terdakwa tidak jadi mengambil ban serap mobil milik korban dikarenakan telah diketahui oleh korban dan masyarakat, bahwa perbuatan Terdakwa mengambil ban serap mobil truk Colt Diesel lengkap tromolnya tersebut tanpa seizin dari pihak korban Lasmaria Br Simarmata, bahwa harga ban serap mobil truk Colt Diesel lengkap tromolnya korban Lasmaria Br Simarmata tersebut berkisar Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) ; Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP ; Mahkamah Agung tersebut ; Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Hal. 2 dari 5 hal.Put.No. 244 K/Pid/2010 Rokan Hilir tanggal 26 Agustus 2009 sebagai berikut: Menyatakan Terdakwa Robin Sitanggang als. Pak Ridoi bersalah melakukan tindak pidana percobaan pencurian sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP ; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Robin Sitanggang als. Pak Ridoi berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap ditahan
Bah jadi tiga unsur yang juga menjadi tindakan percobaan atau pogging seperti diatas sudah terpenuhi semua
Pertama pak robin atau si terdakwa tentu memiliki niat yang adalah sikap batin yang ada pada dirinya nuntuk mengabil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya dan dengan melawan hukum atau mencuri, dalam benaknya.
Tindakan tindakan permulaan yang menunjukan sikap batin orang tersebut yang diberi jalan sebagai kelanjutan perbuatan dari niatnya untuk mencuri, baki dengan masuk diam diam ke dalam rumah dan ke bak truck tersebut serta yang lainnya, dan terakhir adalah pelaksanaannya tidak tuntas dikarenakan hal hal diluarkemampuan si pelaku, yang mana perbuatannya belum selesai dilaksanakan namun sudah terlebih dahulu ketahuan warga dan si pemilik barang, sikap bati seseorang sebetapatun jahatnya, jika belum diawali dengan tindakan permulaan maka sama sekali tidak dapat dipidana, karena memang hukum positif kita tidaklah dapat menghukum sikap batin yang ada pada diri masing masing orang, namun tindakan permulaan tersebutlah yang menjadi sebuah acuan tentang sebuah perbuatan apa yang hendak dilakukannya, dan perbuatan tersebut pada akhirnya tidak tuntas dikarenakan suatu hal yang diluar kemampuan si pelaku maka hal tersebut sudah dapat dipidana dengan delik percobaan seperti uraian diatas.
Namun tentu perlu diberi catatan juga mengenai delik percobaan ini, seperti yang kita tahu Percobaan merupakan perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan. Percobaan bukan merupakan delik mandiri sehingga harus dilengkapi dengan delik pokok. Percobaan diatur dalam pasal 53 dan 54 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Unsur-unsur percobaan:

1. Dalam rumusan delik dan

2. Diluar rumusan delik. unsur percobaan yang masuk dalam rumusan delik adalah niat (voornemen) dan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Unsur percobaan diluar rumusan delik adalah perbuatan tersebut melawan hukum atau dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-Undang.
Percobaan dapat dikatakan pula sebagai perbuatan pidana yang belum selesai. Namun, ada juga percobaan yang perbuatan pidananya atau delik tersebut telah selesai dilakukan. Misalnya A berniat membunuh X dengan memasukkan racun ke dalam minuman X. Minuman tersebut diminum X lalu X kejang-kejang dan dibawa ke rumah sakit namun dengan penanganan medis yang cepat maka dikeluarkan semua racun pada tubuh X dan X kembali sehat lagi. Pada percobaan pembunuhan terhadap X ini perbuatan pidana atau deliknya telah selesai namun tujuannya yang tidak tercapai karena X tidak mati. Ini yang disebut Delic Manque, delik yang telah selesai namun tujuannya tidak tercapai. Selain itu, ada pula yang dikatakan sebagai Delic Tentative, Jangankan tujuannya tercapai, perbuatannya pun belum selesai dilakukan. Misalnya: A mau membunuh X dengan memasukkan racun pada minuman X. Ketika menuang arsenikum dalam minuman X, perbuatan A ketahuan oleh orang lain sehingga menyebabkan A tidak dapat meracun X. Jadi, dalam delic tentative, delik belum selesai dilakukan sehingga tujuan percobaan pun tidak tercapai.





























BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

1. tindak pidna percobaan sesuai yang diatur dalam pasal 53 KUHP adalah sebuah delik yang menitik beratkap pada perbuatan pidana yang ada dalam KUHP itu sendiri, baik kejahatan maupun pelanggaran, namun percobaan tersebut menurut sejumlah pihak juga adalah sebuah delik yang mampu berdiri sendiri,untuk kasus kasus tertentu, patokan dalam menetapkan apakah perbuatan tersebut adalah perbuatan percobaan pidana atau bukan, harus dilihat dari
1. adanya unsur niat
2. adanya permulaan pelaksanaan
3. dan hal perbuatan tersebut tidak tuntas dikarenakan hal hal diluar kemampuan dari si pelaku.
2. dalam jurisprudensi maupun kasus kasus yang telah ada saat inipun penggunaan antara teori subjektif dan objektif masih sulit untuk ditentukan letak dan waktunya yang tepat, namun, dalam contoh kasus diaatas, penggunaan teori objektif sangat terlihat, ditandai dengan batas dari apa itu tindakan permulaan dan tindakan persiapan yang ditekankan pada tindakan untuk masuk ke truck dan mulai meraba raba truck itu untuk mencuri salah satu komponen yang ada pada truck.

masalah lo masalah gw

docktor mau bagi bagi jalan keluar buat kamu kamu yang punya masalah dalam banyak hal.... sharing ajah ama docktor kalo bisa pasti dibantu ya...
kecuali kalo masalahnya utang ??? ya jalan keluarnya BAYAR hahaahahha... ok ok.... coment ajah di sini beserta masalah kamu.... dockter bantu deeh

Sabtu, 09 Juli 2011

masih mungkinkah indonesia punya PLTN


      PLTN ( pembangkit listrik tenaga nuklir memang saat ini menjadi sebuah wacana yang menyeruak ke permukaan, setelah kebocoran yang terjadi pada reactor nuklir di fukushima daiichi jepang, yang mana kandungan radioaktif yang menyebar kemana mana dan bahkan sudah mencemari sebagian produk pangan asal jepang, serta penanganan dari otoritas jepang yang dirasa tidak memiliki opsi lain selain melakukan pendinginan dengan penyemprotan air laut pada reactor yang meledak tersebut.
Pertanyaan yang lantas muncul adalah, apakah masih aman dan perlukah pembangunan instalasi nuklir sebagai salah satu sumber energy di berbagai belahan dunia, termasuk di indonesa ?
 Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menilai bahwa negeri ini sudah memenuhi 13 syarat untuk membangun PLTN. Daerah yang paling memenuhi kriteria adalah Banten, Bangka Belitung, Kalimantan, dan Semenanjung Muria. Bahkan, pemerintah Rusia berkomitmen mendanai reaktor nuklir apabila pemerintah Indonesia berminat. Dan yang menjadi pemikat utama dari pengadaan PLTN di indonesia adalah biaya yang murah bagi Negara dunia ketiga seperti indonesia dan bebrapa perbedaan teknis antara indonesia dan jepang, seperti halnya indonesia memiliki pulau Kalimantan ( borneo ) yang secara geologis adalah batuan tua yang relatif sangat stabil pada pergeseran lempeng yang terjadi, hal ini menyebabkan potensi gempa di tanah indonesia atau di pulau borneo sekitar 7.0 dan maksimal hanya 8,5 skala SR sehingga tepat untuk batasan aman gempa bagi sebuah reactor nuklir.
Ahli Nuklir ITB, Prof. Dr. Zaki Su’ud menjelaskan bahwa PLTN penting jika sebuah negara mau menerapkan energi alternatif yang murah. Harga listrik yang dihasilkan dari PLTN hanya Rp200 per Kwh, jauh jika dibandingkan dengan harga listrik yang berasal dari pembangkit batu bara yang mencapai Rp670 per Kwh. Ia mencontohkan bagaimana China mensuport industrinya dengan membangun sekitar 140 reaktor, sehingga listrik di China bisa murah.
Jika Indonesia hendak membangun PLTN, ia menyarankan menggunakan standar keamanan tertinggi. Potensi rata-rata gempa bumi yang terjadi di Indonesia sekitar 7,0 Skala Rickher, karena itu pembangunan pembangkit nuklir mampu menahan gempa hingga 8,5 SR. Memang ada biaya yang harus dibayar lebih, namun tak seberapa bila dibandingkan dengan keamanan dan keselamatan manusia.
Sementara ada nada yang berbeda dari pakar fisika nuklir dari Tsukuba Jepang, Iwan Kurniawan menilai, rencana pembangunan PLTN di Indonesia harus segera dibatalkan. Indonesia dinilai belum siap untuk menangani masalah jika terjadi kebocoran nuklir.
“Kita nggak sanggup. Bencana di Aceh [tsunami] dan Yogyakarta [letusan Gunung Merapi] saja tidak sanggup ditangani. Itu debunya, wedhus gembel, kelihatan. Kalau nuklir tidak terlihat,” ujar Iwan dalam diskusi bertajuk ‘Gerakan Anti PLTN di Indonesia’ di Jakarta, Rabu 16 Maret 2011.
Dari sisi teknologi, Iwan menegaskan, Jepang sangat jauh berada di atas Indonesia. Namun, saat menghadapi masalah kehancuran PLTN-nya saat ini, Jepang kewalahan. Apalagi Indonesia, yang menurut Iwan, tidak menguasai teknologi, khususnya nuklir. “Pengalaman kita adalah membeli. Jangan harap bisa menguasai teknologinya jika terus membeli. Indonesia tidak pernah mengembangkan teknologi apapun, tidak melakukan riset, maunya beli,” tuturnya.
Jika didasari untuk pembangkit tenaga listrik, Iwan menyatakan, pemerintah harus lebih kreatif lagi untuk mencari sumber daya lain pengganti minyak. Menurutnya, bio diesel dan bio fuel sangat tepat dijadikan sumber energi listrik, ketimbang bertaruh nyawa untuk nuklir. “Bio diesel suatu hari nanti kita akan seperti Arab Saudi. Bio disel yang dari kelapa sawit. Nanti pada saatnya kelapa sawit akan jadi primadona. Seluruh dunia akan bergantung pada kita,” tuturnya. Lalu bagaimana dan apa yang harus dilakukan ? apakah melanjutkan proyek nuklir yang masih mungkin dengan keuangan indonesia saat ini ? ataukah mencari jalan lain ?